Rabu, 01 Februari 2012

Calon Presiden Indonesia 2014


Menguliti Bakal Calon Presiden Indonesia 2014

OPINI | 19 January 2012 | 16:07263  Nihil

Pemilihan Umum masih sekitar 2 tahun lagi, tepatnya tahun 2014. Tapi kasak-kusuk para politisi tentang siapa calon presiden Indonesia berikutnya sudah sangat nyaring di telinga. Jika ini dianggap pekerjaan sia-sia belaka, tunggu dulu. Bagi saya inilah bagiann sosialisasi politik yang di dalamnya memuat pesan pendidikan politik juga. Biar masyarakat Indonesia tahu, siapa figur-figur yang akan muncul, baik yang sudah lama di jagad politik maupun yang baru lahir kemarin sore. Ikhtiar ini perlu dilakukan, sebab media sudah sangat terbuka sekali, kritik dari segala penjuru terhadap realita “politik basi” yang acap kali dipertontonkan para politisi. Minimal agar para politisi munafik tersadarkan jika masyarakat Indonesia sudah semakin cerdas. Jadi penting memang ketika kita berusaha membedah para bakal calon pemimpin nasional pengganti Susilo Bambang Yudhoyono tersebut.
Mimpi (Bakrie) Terendam Lumpur
Nama pertama yang saya coba analisis adalah Aburizal Bakrie (AB). Penempatan AB dalam pembahasan pertama bukan karena saya mengimani survei versi Reform Institute (Kompas, Oktober 2011), yang menempatkan AB sebagai calon presiden terkuat (13,58 %). AB saat ini adalah Ketua Umum Partai Golkar. Partai yang mencatat sejarah dan ikut terlibat ketika republik ini berada di atas maupun di bawah. Partai yang tetap bertahan walaupun pada 1998 Soeharto lengser dan tuntutan Golkar dibubarkan juga sangat kencang. Tapi biduk karamnya Golkar tak dirasakan seperti yang menerpa Soeharto.
Partai Golkar pada Pemilu 2004 menjadi pemenang, yang kemudian tetap berada di urutan 2 teratas pada Pemilu 2009. Suara Partai Golkar cenderung stabil. Sudah menjadi “bakat genetik” Golkar berada di pemerintahan. Karena bicara opisisi di republik ini ibarat mengharap matahari di tengah malam. Tak ada oposisi sejati, yang ada kepentingan sejati. Posisi AB yang terpilih menjadi ketua umum, lantas menggiring persepsi publik dan suara-suara di internal Partai Golkar menjadikannya calon presiden Pemilu 2014. AB memiliki popularitas, semenjak menjadi ketua umum Hipmi, ketua umum Kadin dan pengusaha papan atas dengan usahaBakrie & Brothers. Berbekal inilah kekuatan ekonomi dan jaringan AB mulai.
Pada 2011 Forbes merilis daftar orang terkaya di Indonesia, dan AB menduduki peringkat ke-30 dengan total kekayaan US$ 890 juta. AB memiliki kekuatan ekonomi dalam menjalankan kiprah politiknya. Ini tak bisa dianggap remeh. Termasuk memiliki media yang cukup dikenal (TV One, ANTV dan porta Vivanews.com). Tapi sisi lain AB dan puluhan perusahaannya ini agak tersumbat ketika muncul kasus Lapindo Brantas, Sidoarjo. Lumpur Lapindo yang “sukses” menenggelamkan beberapa desa yang di dalamnya diisi ratusan rumah penduduk, mesjid, madrasah sampai kepada pemakaman umum. Peristiwa atau musibah ini terjadi sejak 200 sampai sekarang. Saking terkenalnya istilah lumpur Sidorajo ini, situsWikipedia saat ini pun membuat profilnya.
Mata masyarakat tertuju langsung kepada perusahaan yang dimiliki keluarga AB. Tentu mungkin “tragedi lumpur jahanam” ini adalah titik masuk untuk memvonis jika AB tak akan pernah bisa menjadi presiden sampai kapanpun. Dosa sosial, ekonomi dan kemanusiaan AB dan keluarganya sudah terlampau besar. Walaupun sampai saat ini masyarakat terus bingung, antara “bencana alam” atau “ulah sengaja perbuatan manusia”. Lepas dari pilihan “politis” ini, yang jelas korban lumpur jahanam tetap ada, susah hidup, terus mencari keadilan. Rumah, pekarangan, madrasah tempat mereka mengaji dan pemakaman tempat orang-orang tercinta dikuburkan sudah direndam oleh lumpur jahanam.
Di sinilah pertaruhan politik mulai terjadi. Yang jelas adalah saya yakin masyarakat Sidorajo (khususnya Kecamatan Porong) secara absolut mengatakan tidak untuk AB. Sejarah akan membuktikan apakah kekuatan jaringan ekonomi, kekayaan yang melimpah, popularitas (citra baik atau buruk) secara linier akan mempengaruhi elektabilitas masyarakat. Oleh karena itu perjuangan AB taklah mulus, dibanding saat dia mencalonkan diri jadi ketua umum Golkar. Jalan terjal dan berbatu menuju istana merdeka sedang dilaluinya. Saat inilah waktu yang tepat bagi AB untuk menyabit rerumputan dan menyapu bebatuan yang menghalangi jalannya menuju istana. Tapi apakah cukup dengan program prorakyat yang intens diiklankan saat ini? Atau AB lebih memilih datang ke Porong Sidoarjo, kemudian meminta maaf pada masyarakat Sidoarjo dan mengganti seluruh kerugian materil masyarakat Porong? Memang pilihan berat untuk anda, Ical!
Sejarah (Prabowo ) yang Berkabut
Calon kedua adalah Prabowo Subianto (PS). Nama ini sudah sangat populer pada 1998 khususnya. Bukan hanya karena PS menantu Soeharto, dengan kecemerlangannya sebagai jenderal Kopassus, tetapi kasus Mei 1998 yang selalu dikait-kaitkan kepadanya. Penculikan aktivis, Tim Mawar, percobaan kudeta dan varian-varian Mei 1998 diidentikkan dengan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra ini. Popularitas PS tak kalah dari tokoh-tokoh lainnya sampai sekarang. Di setiap iklan politiknya selalu mengenalkan diri, “Saya, Prabowo Subianto …”. Kekayaan PS tak kalah banyak dari Aburizal Bakrie. Waktu Pemilu 2009, kekayaan PS yang dirilis KPU berjumlah 1,7 triliyun (Kompas, Mei 2009). Angka yang fantastis tersebut karena perusahaan kelapa sawit dan perkebunan yang dimilikinya. Pada Pemilu 2009 suara Partai Gerindra hanya 4,6 juta pemilih. Pasangan Megawati-Prabowo pun jauh tertinggal oleh SBY-Boediono.
Partai Gerindra saat ini masih partai kecil. Perolehan suara pada Pemilu 2009 memang bukanlah vonis mati untuk tak berkembang sampai Pemilu 2014. Mesin politik Gerindra harus giat bekerja dari sekarang. Walaupun saya melihat tokoh yang dikenal di Gerindra saat ini oleh publik hanya Prabowo dan Fadli Zon. Kewajiban Gerindra untuk memproduksi tokoh-tokoh muda dan berbakat. Jika yang dimaksud adalah Suhardi, Pius Lustrilanang dan Permadi tentu bukan. Gerindra adalah Prabowo dan Prabowo adalah Gerindra. Gerindra perlu mencontoh dan belajar dari Demokrat, setidaknya pada Pemilu 2004. Membangun image partai seiring dengan sosok SBY.
Ikhtiar politik PS menjadi presiden pada Pemilu 2014 nanti masih sangat terbuka lebar. Bukan pula karena saya mengimani hasil survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) yang menempatkan PS di uruan teratas, dengan perolehan 66,5 % suara masyarakat yang disurvei memilihnya (Kompas, Oktober 2011). Terlepas dari kontroversi “dukun politik” yang bernama survei pesanan, faktanya adalah sosok Prabowo menjadi alternatif pilihan presiden Indonesia. Kepercayaan lama tentang keharusan pemimpin nasional harus berlatar Jawa-Non Jawa atau Militer-Non Militer tampaknya masih menjadi keyakinan politik masyarakat kita. Maka figur militer yang tegas, berwibawa dan berani bersikap agaknya dijawab oleh sosok Prabowo. Mungkin karena masyarakat sudah terlalu kecewa dengan mantan tentara yang saat ini menjadi presiden. Sangat jauh dari tegas dan berani bersikap.
Bagi mereka yang percaya dengan mistik-politik, jikalau tak mengatakannya dengan kelompok abangan, maka sosok PS adalah jawaban atas “Jongko Joyoboyo” alias Ramalan Jayabaya. Akhiran nama “to” dan kekuatan supranatural di balik akhiran namanya, setidaknya menjawab interpretasi mistik-politik ini. Terkait hal ini saya pernah menguraikannya di kompasianahttp://politik.kompasiana.com/2011/02/28/prabowo-antara-ramalan-jayabaya-dan-realita-politik/.
Dosa sejarah yang saat ini masih misteri adalah vonis bahwa PS memang terlibat dalam tragedi Mei 1998. Ini mesti dituntaskan lebih dulu agar sejarah tak terus-menerus membohongi generasi bangsa kita. Biar masyarakat tahu, mana Pandawa sesungguhnya dan mana Kurawa sebenarnya. Jawaban melalui buku sudah dilakukan. Pelurusan sejarah sedang diusahakan apapun medianya. Tapi menutup-nutupi sejarah bukanlah solusi atas misteri yang menyelimuti negeri ini. Maka sudah tepat waktunya bagi “Soekarno Kecil” (istilah Permadi untuk Prabowo) saat ini meluruskan sejarah republik. Agar jalan anda menuju istana didukung oleh semesta rakyat Indonesia, setidaknya oleh Raja Jayabaya.
Jalan Setapak Sriwijaya Menuju Istana
Berikutnya yang ketiga adalah Hatta Rajasa (HR). Besan sang presiden ini adalah ketua umum PAN. Posisi PAN dalam Pemilu 2004 menempati urutan ke enam dengan 7,3 juta suara pemilih. Sedangkan Pemilu 2009 memproleh 6,2 juta suara di urutan ke lima. Figur Hatta Rajasa tak sepopuler pendiri PAN yakni Amien Rais. Harus diingat bahwa loyalitas warga Muhammadiyah terhadap PAN tak lagi menjadi ukuran mutlak sikap politik para pemilih. Amien Rais yang tokoh reformasi saja kalah terseok-seok pada Pemilu 2004, apalagi jika menjagokan Hatta Rajasa sebagai presiden 2014. Begitulah bahasa sederhananya. Benar sekali jika HR memiliki kekuatan ekonomi yang lumayan, karena beliau juga pengusaha. Tapi mesti diingat ketokohan HR belum terbukti mampu bersaing dengan figur lain. Ditambah suara PAN yang relatif kecil dalam tiap Pemliu.
HR pun sampai saat ini belum tercatat oleh memori kita akan prestasi yang diberikan untuk masyarakat. Ucapan, tindakan dan sosok yang cenderung kalem, bicara datar-datar saja (normatif), tak mau berkonflik, sikap hati-hati agaknya menjadi indikasi bahwa sosok tegas belum nampak pada dirinya. Bahkan untuk membacakan ijab pernikahan puterinya saja, seorang Hatta Rajasa harus berbicara (terlalu) pelan (inilah opini masyarakat yang gregetketika menyaksikan ijab-qabul pernikahan Ibas-Aliya). Syarat mutlak bagi pemimpin Indonesia ke depan adalah berani bersikap dan tegas. Ditambah hasil survei yang belum ada menempatkan HR di posisi teratas pilihan masyarakat. Jadi perjuangan HR masih jauh dan berat jika tetap berambisi menjadi RI 1. Tapi pahit-pahitnya, minimal kursi RI 2 masih terbuka lebar bagi “Pak Uban” ini.
Busuk Sebelum Berbuah
Keempat adalah figur-figur tua yang namanya pernah ikut pada Pemilu-pemilu sebelumnya. Megawati, Jusuf Kalla dan Wiranto adalah contohnya. Dengan berani saya katakan, Pemilu 2014 nanti, bapak/ibu tak usah lagi bernafsu menjadi presiden! Walaupun survei Jaringan Survei Indonesia (JSI) menempatkan Megawati di urutan teratas (Kompas, Okober 2011). Termasuk Surya Paloh yang pernah ikut kovensi Golkar 2004. Bukan karena apa-apa saya mengatakannya, tapi lebih kepada regenerasi politik ke depan. Betul sekali, 2014 adalah transisi politik dan penyerahan tongkat estafet dari generasi gaek kepada generasi muda. Jangan sampai republik ini mencontohkan pemerintahan gerontokrasi (pemerintahan para gaek) seperti yang terjadi di dunia Arab sana.
Megawati sudah terlampau sepuh. Dua kali ikut Pemilu, dua kali kalah. Begitu juga Wiranto, dua kali ikut Pemilu, ceritanya sama pula, kalah. Pak JK lain ceritanya. Usia yang melampaui Mega dan Wiranto, bahkan di deretan politisi usia JK sudah sangat tua, 69 tahun (2014 akan 71 tahun). Sama halnya dengan “Pak Brewok” yaitu Surya Paloh. Selain kendaraan politik berkaki duanya yang bernama Partai Nasdem dan Ormas Nasdem baru lahir kemarin sore, figur Surya Paloh agak sulit diterima oleh partai politik lainnya, apalagi bagi Golkar.
Terakhir, kelima adalah calon-calon pemimpin muda. Nama Anas Urbaningrum (AU) pasti langsung diingat jika bicara pemimpin muda. Tapi ekpektasi yang berlebihan terhadap sosok AU tak akan terjawab. Nama Anas sudah layu sebelum berkembang, sudah busuk sebelum berbuah. Inilah fakta yang terjadi saat ini. Kasus Nazaruddin membuka lebar mata masyarakat. Harapan pada Anas pupus sudah. Publik sudah kadung kecewa dengan ragam persoalan yang melilit Demokrat, khususnya nasib “Sang Ketua Besar” ini. Lalu nama siapa lagi? Mungkinkah Puan Maharani, puteri mahkota Megawati? Tanpa berpikir panjang orang-orang lantas berkata, jangan dulu, masih bau kencur! Betul adanya, Puan belum menorehkan kiprah politik, laiknya sang ibunda pada zaman Orde Baru. Belum ada catatan prestasi dari Puan. Jadi masih jauh panggang dari api bagi Mbak Puan.
Akhirul Kalam
Inilah sedikit elaborasi saya terhadap nama-nama figur yang dikenal publik dan ramai dibicarakan untuk menggantikan SBY. Memang masih ada nama seperti Djoko Suyanto, Pramono Edhie Wibowo, Hidayat Nur Wahid bahkan Ibu Ani Yudhoyono. Tapi saya meragukan nama-nama ini menjadi RI 1. Terlebih lagi Hidayat Nur Wahid (PKS). PKS belum punya tokoh dan belum punya nyali untuk berani merebut RI 1 atau 2 (pemilu 1999, 2004 dan 2009 adalah buktinya). Apalagi Bu Ani yang sudah “dihambat” oleh sang suami mejadi presiden 2014 nanti (Pidato SBY di Cikeas, Desember 2011). Saya percaya dengan pernyataan SBY ini.
Jadi silahkan republik yang akan memilihnya nanti. Apakah akan terus mempercayai nama-nama di atas untuk memimpin kita, ataukah akan belajar dari sejarah, dan berani berpikir beda. Dengan memilih figur yang tak pernah diperhitungkan selama ini, bahkan yang tak pernah diingat oleh media dan memori kita? Kitalah yang akan menjawabnya kelak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar